Baru-baru ini telah viral potongan video tentang penjelasan seorang ustadz mengenai hukum onani disaat menjalani ibadah puasa. Kritik dari berbagai kalanganpun mengalir kepada beliau karena ada hal yang cukup aneh ditelinga masyarakat umum dalam video tersebut.

 

Dalam video sang ustadz sempat mengatakan bahwa pendapat Imam Ibnu Hazm, Imam Asy-Syaukani dan Syekh Al Albany yang menyatakan bahwa onani tidak membatalkan puasa cukup kuat.


Hal inilah yang membuat masyarakat umum berasumsi sang ustadz setuju bolehnya onani saat berpuasa. Adapula yang memahami bahwa sang ustadz setuju onani tidak membatalkan puasa, meski hukumnya tetap haram.


Dari potongan video yang beredar, murid-murid sang ustadzpun melakukan pembelaan. Pembelaan pertama video tersebut hanya potongan, sehingga tidak bisa menyajikan gambaran utuh penjelasan sang ustadz.


Pembelaan kedua sang ustadz hanya menyampaikan khilafiyah para ulama', bukan pendapat pribadi beliau.


Pembelaan ketiga pendapat pribadi sang ustadz adalah onani membatalkan puasa. Terbukti dengan sang ustadz menyebutkan lebih dulu pendapat jumhur tentang onani membatalkan puasa dalam video lengkapnya.


Terlepas dari pro kontra permasalahan itu, ada tiga hal yang perlu disorot dalam hal ini.


Pertama, sebuah hal yang cukup aneh ketika ustadz pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang masyhur disebut "Wahabi" Ini mendadak mengakui khilafiyah.


Sang ustadz lebih sering tidak mengakui khilafiyah dalam berbagai masalah furu'iyah. Permasalahan tawassul, tabarruk, memperingati maulid Nabi, membaca tahlil bersama-sama di rumah duka, membaca yasin bersama-sama pada malam jum'at, membaca usholli ketika niat sholat, dan sederet permasalahan furu'iyah lainnya yang oleh sang ustadz langsung divonis bid'ah dan sesat, tanpa ada kemungkinan khilaf para ulama' didalamnya.


Namun anehnya, justru sang ustadz mengakui ada khilafiyah dalam permasalahan onaninya orang yang berpuasa. Tentu ini sesuai yang aneh dan lucu.


Seandainya dalam semua permasalahan furu'iyah sang ustadz mengakui adanya khilafiyah antar ulama', tentu sang ustadz tidak mudah menuduh bid'ah dan sesat.


Kedua, ulama' yang diakui pendapatnya oleh sang ustadz, sehingga layak dianggap khilaf adalah Imam Ibnu Hazm, Imam Asy-Syaukani, dan Syekh Al Albany.


Sudah masyhur dikalangan fuqoha' Ahlussunnah wal Jama'ah bahwa Imam Ibnu Hazm bermazhab Dzohiri. Dimana madzhab yang didirikan oleh Imam Dawud Adz Dzohiry. Meski sempat bertahan dan bersaing dengan empat madzhab besar, seiring berjalannya waktu madzhab ini habis tergerus zaman. Kitab-kitab dan murid-murid yang menjadi pengikut dan mengajarkan madzhab dzohiri telah punah. Diakhir-akhir masanya, madzhab ini diyakini melebur dengan madzhab Hanbali. Sehingga jumhur sepakat bahwa saat ini madzhab dzohiri tidak bisa dipakai pegangan. Itulah kenapa Ahlussunnah wal Jama'ah hanya mengakui empat madzhab saja.


Ada beberapa pendapat Ibnu Hazm yang cukup kontroversial dan pendapat tersebut tidak dianggap khilafiyah oleh jumhur. Salah satunya Ibnu Hazm berpendapat seorang laki-laki boleh melihat tubuh wanita yang hendak ia nikahi, termasuk aurotnya.


Lalu siapa Imam Asy Syaukani? dia adalah seorang tokoh di Yaman. Lahir sekitar 750 tahun setelah Ibnu Hazm, lalu terinspirasi dengan karya-karya Ibnu Hazm dan diyakini juga mengikuti madzhab dzohiri. Sedangkan Syekh Al Albany muncul 100an tahun setelah Imam Syaukani dan baru meninggal tahun 1999 lalu. Dalam banyak pendapat, Syekh Al Albany terinspirasi dari Imam As Syaukani.


Jadi kesimpulannya, tiga ulama' yang disebut khilaf oleh sang ustadz bermuara pada satu orang, yakni Imam Ibnu Hazm pengikut madzhab dzohiri, dimana madzhab tersebut saat ini sudah tidak bisa dipakai menurut Ahlussunnah wal Jama'ah.


Ketiga, pernyataan sang ustadz yang mengatakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukani dan Al Albany kuat karena tidak ada dalil shorih yang menyatakan batalnya puasa pelaku onani. Pernyataan ini sebenarnya menunjukkan sang ustadz lebih setuju dengan pendapat tersebut. Karena orang yang normal akan cenderung mengikuti pendapat yang dianggapnya kuat.


Cuman metode pentarjihan sang ustadz juga perlu dipertanyakan. Hanya karena tidak ada dalil shorih batalnya puasa pelaku onani, sang ustadz langsung menganggap kuat pendapat yang menyatakan tidak batal. Padahal jika kita cari, tidak ada juga dalil shorih yang menyatakan puasanya pelaku onani tidak batal.


Justru karena sama-sama tidak ada dalil shorih, maka perlu penggalian hukum melalui ijtihad. Berusaha sungguh-sungguh memahami lalu menyimpulkan hukum dari ribuan nash yang ada.


Jika metode penggalian hukum hanya "karena nggak ada dalilnya, maka tidak batal" itu artinya semua orang bisa menjadi mujtahid.

Wallahu A'lam.
Semoga bermanfaat. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama