Siapa yang tak kenal dengan KH. A. Wahid Hasyim. Beliau adalah putra dari pendiri Nahdlatul Ulama', Hadrotus Syaikh Hasyim Asy'ari. Selain putra dari tokoh terkemuka, beliau juga banyak berkontribusi untuk Indonesia sejak sebelum masa kemerdekaan hingga menjadi menteri di pemerintahan Seokarno. Sebab itulah beliau diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia.


Terkait dengan organisasi NU yang dirintis oleh ayahnya, beliau punya pernyataan penting yang mengingatkan kita kembali gambaran utuh tentang NU dimasa beliau. Dalam buku Sejarah Kehidupan KH. A. Wahid Hasjim karya H. Aboebakar Atjeh halaman 817, ayahanda Gus Dur ini menyatakan bahwa ada dua hal yang sering menjadi keberatan bagi pemuda pemuda Islam  untuk masuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama'.


Pertama, NU terlampau "streng", terlampau "keras" di dalam tuntutannya  pada anggota mengenai kewajiban-kewajiban agama. Tiap tiap anggota NU harus "beres" sembahyangnya, jum'atannya puasanya, dan kewajiban agama lainnya. Nahdlatul Ulama' di dalam kehidupan "privat" anggota-anggotanya mempunyai ukuran yang berat.

Di dalam anggaran dasar NU disebutkan kemungkinan pemecatan seorang anggota berdasar atas perbuatannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam.


Memang tuntutan NU yang "keras" dan "streng" pada anggotanya ini sering dirasakan oleh orang luar sebagai hal-hal yang menakuti dan menghalangi untuk menggabungkan diri menjadi anggota NU.


Akan tetapi bagi orang yang betul-betul ingin kemajuan Islam dan kebangunan syari'atnya, maka tuntutan-tuntutan NU yang "berat" dan "keras" serta "streng" itu malah mendorongnya untuk masuk NU.


Kedua ialah faktor ulama' di dalam NU seolah-olah memonopoli perhimpunan, sedang pandangan para ulama' itu pasti didasarkan pada keterangan-keterangan dan perkataan-perkataan para ulama' terdahulu dalam kitab dan buku agama. Oleh karena demikian, kemerdekaan bergeraknya perhimpunan tentu akan terhalang oleh pandangan para ulama' yang dianggap "kolot". Begitulah anggapan orang luar.


Akan tetapi bagi orang yang suka menyelidiki sungguh sungguh, akan terdapat kenyataan bahwa di dalam Nahdlatul Ulama' kedudukan para ulama' itu tidak lebih daripada anggota biasa. Jadi tidaklah memonopoli perhimpunan.


Mereka hanyalah sebagai penjaga ajaran-ajaran Islam, jangan sampai dilanggar oleh anggotanya. Karena jika anggota NU sudah melanggar ajaran-ajaran agamanya, siapa lagi yang sudi memelihara dan menjaga ajaran-ajaran tersebut.


Di dalam usaha para ulama' menjaga ajaran-ajaran agama itu, sama sekali mereka tidaklah "beku" dan "jumud". tetapi senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan asalkan tidak bertentangan dengan pokok pokok ajaran Islam.


Demikian pernyataan KH. A. Wahid Hasyim mengenai dua alasan pemuda Islam menolak menjadi anggota NU dimasa beliau. Namun ketika di masa kini, ketika pemuda pemuda Islam bersemangat untuk menunjukkan ke NU-annya, timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah sudah terjadi pergeseran?

Organisasi badan otonom NU, mulai dari IPNU, IPPNU, PMII, GP Ansor dengan Bansernya memiliki anggota pemuda pemudi yang tidak bisa dikatakan sedikit, mungkinkah NU tidak lagi "streng" dan "keras" dengan kehidupan "privat" anggotanya dalam menjalankan syari'at Islam?


Atau mungkinkah peran dari ulama'-ulama' NU sebagai penjaga agar anggota NU tetap menjalankan ajaran-ajaran Islam tidak lagi signifikan?
Wallahu A'lam.


Bagaimana menurut pendapat anda?
Tulis pendapat anda di kolom komentar yaa

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama