Telah dapat diketahui bersama bahwa pada hakikatnya sejarah pertumbuhan hukum-hukum fiqh itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam. sebab agama Islam merupakan satu kesatuan dari masalah keyakinan, etika dan hukum-hukum amaliyyah. Sedang hukum amaliyah sudah ada sejak masa nabi Muhammad SAW dalam wujud hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an. 

Jika ditemukan adanya suatu masalah yang sedang diperselisihkan atau berbagai kasus yang secara cepat membutuhkan jawaban, maka beliau SAW langsung memberikan fatwa sebagai jawabannya. 

Oleh karena itu hukum hukum yang datangnya dari Rasulullah saw. merupakan suatu fatwa beliau terhadap suatu kasus yang status hukumnya secara pasti belum diketemukan di dalam al-Qur’an, misalnya: Keputusan yang diambil oleh Rasulullah SAW. ketika menghadapi pertanyaan mendesak, sedang wahyu setelah ditunggu belum juga turun dan kedudukannya akan ditentukan kemudian oleh wahyu. Jika pada kenyataannya keputusan tersebut diakui oleh wahyu, maka kedudukannya saat itu berubah menjadi penetapan wahyu. 

Dalam perkembangan selanjutnya, pada generasi kedua, ditemukan banyak kasus yang belum pernah terjadi pada masa awal Islam, sehingga para ahli berusaha melakukan ijtihad untuk memutuskan dan menetapkan berbagai hukum dengan memberikan suatu fatwa berdasarkan ketetapan hukum yang sudah berlaku di masa awal Islam, yaitu Rasulullah SAW.

Oleh karena itu , hasil hukum-hukum fiqh pada masa kedua ini didasarkan pada hukum-hukum Allah, rasul-Nya, fatwa dan keputusan para sahabat, semuanya bersumber pada al-Qur’an, hadis dan ijtihad para sahabat. Sekalipun demikian, pada masa kedua ini belum ditemukan adanya kodifikasi hukum dan ketetapan hukum tentang kasus-kasus yang sifatnya kondisional kecuali kasus-kasus tertentu yang terjadi dimasa itu, sebab ketentuan hukumnya belum dalam bentuk susunan yang sistimatis dan sifatnya masih merupakan suatu catatan atau petikan dari suatu kasus dan perilaku, sehingga koleksi ilmu ini belum bisa disebut sebagai ilmu fiqh dan para sahabat sebagai ahli dalam bidang ini belum juga disebut fuqaha’.

Dengan demikian, kumpulan hukum fiqh pada masa awal dan kedua, tetap diambil dari hukum Allah, rasul-Nya dan para sahabat yang bersumber dari al-Qur’an, keputusan Rosulullah dan ijtihad para sahabat.

Begitu juga pertumbuhan ushul-fiqh sebenarnya telah ada bersamaan dengan lahirnya fiqh, sebab fiqh merupakan hasil istinbath dari dalil (baik al-Qur’an maupun hadis) yang dilakukan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya!

Demikian juga halnya dengan hasil ijtihad para sahabat yang sedang berada di tempat yang jauh dari Rasulullah SAW, dimana kedudukannya ditetapkan oleh wahyu yang diturunkan kemudian atau oleh penetapan Rasulullah SAW. Oleh karena itu beliau sebagai penetapan wahyu, baik al-Qur’an maupun hadist. 

Selanjutnya, setelah masa daulah Ismailiyyah dan setelah banyak pengikut yang non-muslim dengan berbagai peradaban dan keilmuan yang berbeda-beda, umat Islam dihadapkan pada berbagai macam kasus baru dengan berbagai tingkat kesulitan dalam memberikan ulasan sebagai jawaban, menyebabkan para mujtahid dituntut untuk melakukan pengembangan terhadap lapangan kajian Ijtihad dalam mencarikan ketetapan hukum dari berbagai kasus tersebut. 

Dari faktor itulah, pintu Ijtihad dan metode analisisnya semakin terbuka lebar, sehingga berakibat pada semakin luas lapangan kajian pembentukan hukum-hukum Islam dengan berbagai ketetapan hukum yang berkaitan erat dengan berbagai peristiwa dan kejadian yang sifatnya kondisional, sekalipun ketetapan tersebut masih disandarkan pada dua kodifikasi sebelumnya, yaitu masa awal dan kedua, yakni periode Nabi dan sahabat. 
(Bersambung) 

(Dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqh karya Drs. Ma'shum Zein, MA)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama