Pada dasarnya semua orang berapapun usianya, apapun profesinya dan bagaimanapun latarbelakangnya tahu betul sisi negatif dan bahaya rokok. Bahkan mereka yang menjadi pecandu rokokpun hati kecilnya pasti mengakui itu, meskipun terkadang bibirnya berkata lain dengan menyebutkan keutamaan keutamaan rokok dan pecandunya. Buktinya mereka pasti marah jika anaknya yang masih kecil mulai belajar merokok, apalag jika ketahuan sudah menjadi pencandu seperti dirinya.
Dari sudut pandang fikih, telah banyak
dijelaskan para ulama’ tentang khilafiyah hukum rokok berikut dengan dalil dan
argumentasinya. Disinilah rokok selalu menarik untuk dibahas, terlebih jika
dikaitkan dengan tradisi pesantren atau tradisi NU.
Tidak bisa dipungkiri bahwa rokok seolah
tidak bisa lepas dari tradisi pesantren salaf. Bahkan seorang santri pesantren salaf
yang tidak merokok seringkali justru kena bully dan dianggap kurang berjiwa “lelaki”.
Rokok juga seolah tidak bisa lepas dari tradisi NU, dimana tokoh tokoh dan kyai
kyai NU seolah menjadi “Brand Ambassador” bagi berbagai varian dan merk rokok. Tidak
jarang masyarakat atau santri yang hendak sowan kepada seorang kyai merasa
kurang afdhol jika tanpa hadiah berupa merk rokok tertentu yang memang
diketahui secara umum merupakan kesukaan sang kyai. Salah satu kata kata “guyonan”
masyarakat NU yang menunjukan bahwa rokok seolah tidak bisa lepas dari tradisi
NU adalah memlesetkan kata “NO Smoking” menjadi “NU Smoking”.
Baca juga : Memahami Islam Kaffah dalam Konteks Keindonesiaan
Dengan beberapa fakta diatas, dapat kita
simpulkan bahwa memang rokok tak bisa lepas dari tradisi pesantren. Menolak rokok sama saja menolak kitab kuning, anti rokok sama
dengan anti kyai, bahkan bukan NU dan cenderung Wahabi! Kata-kata
semacam ini barangkali cukup familiar di telinga kita. Wajar saja, hal ini
mengingat pembaca kitab kuning rata-rata di negeri kita adalah penggemar berat rokok
dengan segala variannya. Mereka biasa menela’ah kitab kuning sambil memainkan
asap rokok, sehingga siapa saja yang mengecam rokok, sangat mungkin dicap sebagai
anti kitab kuning.
Padahal bila kita mau menela’ah dengan seksama dan sedikit obyektif,
sebetulnya banyak para ulama’, kyai dan habaib yang tidak merokok, bahkan tidak
sedikit pula yang mengharamkannya. Akan tetapi, tulisan singkat ini tidaklah
hendak berbicara tentang hukum dan yang
berkenaan dengannya. Namun hanya membahas tentang beberapa
pandangan Ulama dan Sadat Habaib beserta sejumlah kisah mengenai rokok dan
penghisapnya. Berikut di antaranya:
Ø Shohib Rotib Al-Haddad, As-Sayyid al-Qutb Abdullah al-Haddad mengatakan: “Tidak ada kebaikan sama sekali dalam tembakau (rokok) dan penghisapnya.”
Ø Al-Habib
Ahmad bin Umar al-Hindun dan al-Habib Abdullah
al-Haddad atau al-Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar berpendapat bahwa tembakau
(rokok) adalah harom.
Ø Syaikh Ali
as-Syadzili berjumpa dengan Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Sayyidatina ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam mimpi. Lantas
beliau bertanya kepada baginda Nabi, “ Ya Rosulullah, apa hukum menghisap
tembakau (rokok)?.” Maka beliau
menjawab, ”Andaikan engkau melakukannya (Beliau memberikan isyaroh kepada Syaidatina
Aisyah) Maka niscaya akan saya talak.”
Ø Sayyid Ahmad
bin Hasan al-‘Atos bercerita, “ Suatu ketika aku melihat Baginda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar dari sebuah rumah di kota Sewun (salah satu
kota di Yaman), maka aku betanya kepada beliau tentang perihal tersebut. Beliau
pun menjawab,” Aku datang untuk menghadiri maulid di rumah ini, namun aku
melihat ada tembakau ( rokok) di dalamnya, maka aku pun keluar dari rumah ini.”
Ø Habib Abdullah
bin Ahmad al-Faqih bercerita bahwa suatu malam beliau melihat Baginda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saat itu, istri sang habib dalam keadaan mengandung. Maka
Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kapada beliau,” Bila
anakmu lahir kelak maka berilah nama Muhammad.” Selepas itu beliau pun
bertanya, “Ya Rosulullah, ada gerangan apa sehingga engkau datang ke tempat
ini?” Maka beliau menjawab, “Beberapa orang sedang membaca maulid
sehingga aku pun datang untuk mengahadiri majelis itu, tetapi aku mendapati seseorang lelaki sedang
menghirup tembakau (rokok), maka aku pun kembali dan tidak jadi masuk ke tempat
tersebut.”
Disarikan dari kitab al-Fawa’id al-Mukhtaroh li Saliki Thoriqil
Akhiroh, Habib Ali bin Hasan Baharun, hal 545-548.
Baca juga : Kesamaan NU dan FPI dalam Penerapan Syari'ah Islam di Indonesia
Namun demikian, meski kita telah tahu penjelasan para habaib dan ulama' tentang bahaya rokok dari sudut pandang kajian kitab kuning, hal ini seharusnya tidak menyebabkan kita sebagai santri berpandangan mengecilkan dan su'ul adab kepada para kyai yang masih menjadi pecandu rokok. Tulisan ini bertujuan untuk membesarkan hati para santri yang memilih untuk tidak menjadi pecandu rokok, bangga jadi santri yang tak merokok, tanpa merendahkan mereka yang masih merokok. Wallahu a'lam.
Posting Komentar